Kali ini saya mau sedikit cerita,,ehh mungkin agak panjang
atau mungkin juga cukup panjang
Maklum,,efek galau berkepanjangan.
Ada baiknya mungkin diawali dulu dengan sejarah hidup saya.
Saya dibesarkan dalam keluarga
yang harmonis, demokratis, bahagia (meski sering mendapat cobaan) dan juga
disiplin, terutama oleh didikan bapak. Bapak saya orang yang humoris dan sangat
baik, tapi kalau masalah disiplin dan akademik
dia termasuk orang yang sangat tegas. Sejak kecil saya terbiasa dengan didikan
beliau yang selalu harus on time dalam
segala hal, mulai dari bangun pagi, ke sekolah, tidur siang, sampai setelah
maghrib dan makan malam tv harus dimatikan dan saya harus belajar serta
mengerjakan tugas dari sekolah. Bahkan beliau sangat disiplin dengan tulisan saya
di buku tulis, harus rapi dan tidak banyak coretan (di sini ceritanya cuma
saya, karena adek ku Eki masih kecil). Jam 10 malam harus tidur. Tapi bukan
berarti dia orang yang otoriter, yang membuat anak-anaknya jadi takut
dengannya. Di hari libur saya diberi kebebasan nonton kartun dan menyewa
komik,,yaa sejak kecil saya sudah diajarkan untuk cinta membaca.
Kebiasaan-kebiasaan inilah yang
mungkin membangun saya menjadi orang yang seperti ini. Alhamdulillah saya
selalu jadi juara di kelas, bahkan juara 1 umum sejak SD sampai SMA (hanya
sekali sempat turun jadi juara 2 umum waktu SMP). . Kuliah S1 pun alhamdulillah
lulus dengan predikat IPK tertinggi se Universitas. Beliau mengajarkan bahwa
bermimpi itu harus tinggi,,itulah yang mendorong saya dulu ingin jadi
dokter,,yaa tapi ujung-ujungnya malah masuk jurusan Biologi dan sekarang lagi
ikut beasiswa calon dosen.
Mungkin segitu saja dulu sejarah
hidup saya,,intinya saya ingin bercerita bahwa kehidupan akademik saya hingga
lulus S1 berjalan dengan lancar (sekali lagi itu berkat didikan bapak dan mama
juga tentunya). Padahal zaman S1 dulu, saya termasuk mahasiswa yang aktif
berlembaga di organisasi mahasiswa semacam Himpunan Mahasiswa Biologi (ada
beberapa pengalaman semasa menjabat yang saya tuliskan di blog ini), saya juga
aktif di lembaga kepecintaan alam, dan beberapa kali naik gunung (waktu itu naik
gunung belum mainstream seperti sekarang,,hanya beberapa mahasiswi yang mau
ikut di organisasi ini,,sekarang mah jadi kekinian bingggooo)...lanjut...
Sampai akhirnya saya membulatkan
tekad untuk lanjut S2 dengan beasiswa calon dosen dari pemerintah. Fikir ku
saat itu,,daripada saya nganggur, mending ikut program beasiswa ini, gelarnya
dapat, duit beasiswanya dapat, klo selesai bisa jadi dosen pulak, nominal beasiswanya
pun lumayan besar, yang kalo saya jadi tenaga honorer d sekolah atau di Dinas
tertentu belum tentu dapat segitu untuk sebulan. Saya bisa meringankan beban
mama karena tidak perlu membiaya saya lagi, bahkan saya bisa bantu-bantu
sedikit uang untuk mama dan eki (alhamdulillah terlaksana ji waktu masih ada
beasiswa). Pilihan universitasnya nun-jauh dari kampung halaman, inginnya
supaya menambah pengalaman, dan dengan naifnya mengabaikan nasihat beberapa
orang bahwa untuk lulus di kampus ini agak susah. Jiwa muda masih membara
hebat,,sehingga dengan yakin bisa lulus dalam 2 tahun.
Yaa,,,dan disinilah saya
berujung,,hingga 2 tahun 9 bulan kuliah disini belum juga lulus (catet yah
bukan karena tidak lulus mata kuliah, tapi lebih ke permasalahan bimbingan yang
yahhhh,,sudahlah). Saya tidak bilang
kalau saya menyesal dengan pilihan saya, tapi sebagai manusia biasa ini lah
yang mungkin dikatakan “galau tingkat dewa”. Di saat teman-teman lain
seangakatan seperjuangan sudah selesai satu persatu, sedang saya belum juga
sidang. Saya diberi tantangan lebih dibanding yang lain.
Benang merah dari cerita saya di
awal adalah bahwa dulu saya bisa melewati masa akademik saya dengan lancar
jaya, namun di jenjang S2 ini subhanallah berlikunya. Mungkin tantangan sejak
SD dulu baru terakumulasi sekarang. Mulai dari tantangan waktu penelitian, yang
proyeknya tiba-tiba di cancel (pernah saya ceritakan d blog juga). Jadi mau tidak
mau harus pakai dana pribadi yang lumayan besar, bahkan sangat besar hingga
menguras habis tabungan. Tantangan paling besar nya adalah menghadapi
pembimbing yang tidak usah disebut namanya, sebut saja pembimbing 1 sebagai Bu
Melati dan pembimbing 2 sebagai Bu Mawar (nahhh si Bu Mawar ini yang tantangan
besarnya). Bu Melati dan Bu Mawar sering sekali beda pendapat yang akhirnya
mengorbankan saya yang posisinya di tengah-tengah, meski alhamdulilllah
seringkali berujung dengan Bu Melati yang mengalah. Kemudian galak dan moody nya
Bu Mawar ini yang sering bikin senewen,,beberapa kali mengucapkan kata yang bikin
air mata nyaris jatuh, kadang hari ini bilang begini, besok lain lagi. Tapi
yang paling bikin dongkol itu kalo draft disimpan sampai sebulan lebih tanpa
diperiksa, mau ditanyain beliaunya lebih marah, dibiarin saya nya yang rugi,
rugi besar malah karena harus memperpanjang masa studi dan bayar spp sendiri.
Beasiswa hanya sampai 2 tahun, jadi selebihnya itu pakai dana pribadi (lebih
tepatnya dana sponsor dari keluarga yang tidak tentu jumlah dan kapan cairnya).
Secara pribadi saya memang dibuat
galau dengan kondisi ini,,bahkan kadang dibuat jengkel setengah mati. Bukan hanya
karena masa studi saya jadi lebih lama, tapi banyak hal-hal lain yang juga saya
pertimbangkan. Pertama tentunya masalah dana, sejak tidak ada beasiswa terpaksa
harus minta sama mama, yang niat awalnya lanjut S2 supaya tidak menyusahkan
beliau malah semakin menyusahkan. Saya jadi pinjam uang beberapa kali sama kak
Rajib karena malu dan tidak enak kalau terus-terusan menyusahkan mama –di usia
yang mestinya saya produktif menghasilkan uang- , saya jadi harus menahan ego
minta uang ke om dan tante. Dari dulu mereka memang selalu membantu financial
akademik saya, terlebih setelah bapak meninggal, tapi tidak pernah saya yang
minta langsung,,maklum ego saya terlalu tinggi untuk itu. Tapi sekarang apalah
arti ego itu, om dan tante tidak mau kasih uang kalau bukan saya yang bilang
langsung. Sementara mama juga pas-pasan keuangannya, saya tidak mau terlalu
menyusahkan beliau.
Sedikit berfokus ke mama,,karena
sebenarnya inilah yang paling memberatkan saya berada dalam kondisi ini.
Seperti tadi yang saya bilang, niat awal lanjut untuk meringankan beban mama,
dan utamanya saya ingin mendapat kerja yang lebih baik, saya ingin memperbaiki
kondisi ekonomi keluarga saya. Kasihan mama saya yang sejak bapak meninggal,
seorang diri mencari nafkah untuk saya dan eki. Sedikit banyak dia mirip dengan
saya, beliau lebih memilih bersusah-susah kerja daripada harus pulang dan
menggantungkan hidupnya pada saudara-saudaranya. Jadilah ia sosok paling
tangguh dalam hidup saya yang berjuang dengan berbagai cara untuk membesarkan
dan menyekolahkan saya dan eki (keluarga tetap ji membantu, tapi mama tetap
survivor sejati). Itulah yang jadi motivasi besar saya ingin sukses,,demi
beliau, supaya beliau tidak usah kerja banting tulang lagi dan bisa istirahat
menikmati buah usahanya selama ini untuk saya dan eki. Tapi yang terjadi malah
hingga saat ini saya masih terus-terusan menyusahkan beliau. Beliau tidak
pernah mengeluh meski saya masih sering dikirimi uang dari beliau, beliau
justru lebih khawatir pada keadaan hidup saya di sini. Tiap saya cerita bahwa
pembimbing saya begini atau begitu, justru beliau yang lebih khawatir, beliau
yang lebih pusing. Atau kalau saya
cerita bulan ini belum bisa sidang, mungkin bulan depan, sempat terdengar nada
kecewanya, tapi kemudian memberi semangat kembali, seakan tidak ingin saya
lebih terpuruk lagi oleh tekanan di kampus dan tekanan cepat selesai. Justru
inilah yang semakin membuat hati saya sakit, bukan hanya karena belum lulus
saja tapi karena melihat mama saya yang begitu pengertian di tengah harapannya
yang besar pada saya. Beliau sangat mengerti bahwa tekanan saya sendiri dari
pembimbing sudah cukup besar dan dia tidak mau menambah tekanan itu dengan
memaksa saya segera selesai. Tapi saya tau bahwa dia menyimpan harapan besar
pada saya untuk segera selesai, bekerja, hingga bebannya sedikit berkurang. Yah
dia memang sudah cukup tua di usianya kini, begadang bikin kue, di terpa panas
dan dingin waktu menjual tidak bisa lagi dia hadapi setangguh dulu, dan wajar
rasanya setelah semua perjuangannya itu beliau menyimpan harapan besar pada
anak sulungnya ini. Yahhh itu lah yang membuat saya semakin galau. Terkadang
saya ingin cerita ke beliau masalah saya di sini dengan bahasa sesederhana mungkin
agar beliau tidak ikut galau. Terkadang juga saya ingin memberi janji untuk segera selesai agar ia tidak
khwatir tapi takut malah nanti bikin kecewa kalau nyatanya masih butuh waktu
lagi untuk selesai.
Terkadang yang membuat saya
sedikit terhibur dengan keadaan ini, setidaknya berkat saya kuliah di jawa,
sewaktu masih ada beasiswa saya sempat beli hp untuk eki, kasih uang jajan, dan
sempat dua kali bawa mama jalan-jalan ke bogor dan jakarta. Pengalaman beliau
ke jakarta dan bogor ini pulalah yang sering beliau banggakan di keluarga dan
teman-temannya. Beliau sering bilang “kalau tidak kuliah ko d bogor kapan ka
lagi bisa injak bogor sama jakarta,,nanti
S3 nya harus di luar negeri supaya pergi tong ka jalan-jalan ke luar
negeri”. Mungkin ini kalimat penghibur dari beliau supaya saya tidak
terus-terusan menyesali keadaan.
Yahh mungkin inilah yang jadi
inti cerita saya kali ini, sebagian besar disebabkan kegalaun saya. Galau
karena belum selesai, galau karena selalu menyusahkan orang lain, galau karena
terus-terus membebani mama, dan utamanya galau karena belum bisa memenuhi
harapan mama.
Di akhir saya kembali menuliskan
harapan yang selalu saya panjatkan dalam doa-doa saya, agar saya segar selesai,
bekerja dan mebahagiakan mama saya. Saya ingin beliau hidup sehat dan menikmati
hari-harinya sebagaimana ibu-ibu pada umumnya, tanpa harus berfikir lagi
bagaimana mendapatkan uang untuk saya dan eki. Saya ingin kelak itu menjadi
tanggungjawab saya sebagi sulung keluarga. Beliau cukup menikmati hari-harinya
dengan penuh kebahagiaan, mendapatkan hal-hal yang mungkin selama ini beliau
inginkan namun ditahan demi mendahulukan kepentingan saya dan eki, memberi
rumah yang nyaman, waktu istirahat yang cukup, bermain dengan cucu-cucunya
(hahahah,,nikah dulu inda baru bisa terwujud kalo harapan yang ini) dan tentu
berbakti lebih banyak lagi untuk beliau. Semoga suatu hari nanti dicukupkan
rezeki saya untuk membawa beliau beribadah haji,,,aamiin
Sekian dan terimakasih
Bogor, Selasa 24 Mei 2015
Pukul 14.19 WIB