I LIKE PINK

kusuka dengan sebuah perubahan

Selasa, 24 Mei 2016

Galau lagi,,galau lagi

Kali ini saya mau sedikit cerita,,ehh mungkin agak panjang atau mungkin juga cukup panjang
Maklum,,efek galau berkepanjangan.

Ada baiknya mungkin diawali dulu dengan sejarah hidup saya.

Saya dibesarkan dalam keluarga yang harmonis, demokratis, bahagia (meski sering mendapat cobaan) dan juga disiplin, terutama oleh didikan bapak. Bapak saya orang yang humoris dan sangat baik,  tapi kalau masalah disiplin dan akademik dia termasuk orang yang sangat tegas. Sejak kecil saya terbiasa dengan didikan beliau yang selalu harus on time dalam segala hal, mulai dari bangun pagi, ke sekolah, tidur siang, sampai setelah maghrib dan makan malam tv harus dimatikan dan saya harus belajar serta mengerjakan tugas dari sekolah. Bahkan beliau sangat disiplin dengan tulisan saya di buku tulis, harus rapi dan tidak banyak coretan (di sini ceritanya cuma saya, karena adek ku Eki masih kecil). Jam 10 malam harus tidur. Tapi bukan berarti dia orang yang otoriter, yang membuat anak-anaknya jadi takut dengannya. Di hari libur saya diberi kebebasan nonton kartun dan menyewa komik,,yaa sejak kecil saya sudah diajarkan untuk cinta membaca.

Kebiasaan-kebiasaan inilah yang mungkin membangun saya menjadi orang yang seperti ini. Alhamdulillah saya selalu jadi juara di kelas, bahkan juara 1 umum sejak SD sampai SMA (hanya sekali sempat turun jadi juara 2 umum waktu SMP). . Kuliah S1 pun alhamdulillah lulus dengan predikat IPK tertinggi se Universitas. Beliau mengajarkan bahwa bermimpi itu harus tinggi,,itulah yang mendorong saya dulu ingin jadi dokter,,yaa tapi ujung-ujungnya malah masuk jurusan Biologi dan sekarang lagi ikut beasiswa calon dosen.

Mungkin segitu saja dulu sejarah hidup saya,,intinya saya ingin bercerita bahwa kehidupan akademik saya hingga lulus S1 berjalan dengan lancar (sekali lagi itu berkat didikan bapak dan mama juga tentunya). Padahal zaman S1 dulu, saya termasuk mahasiswa yang aktif berlembaga di organisasi mahasiswa semacam Himpunan Mahasiswa Biologi (ada beberapa pengalaman semasa menjabat yang saya tuliskan di blog ini), saya juga aktif di lembaga kepecintaan alam, dan beberapa kali naik gunung (waktu itu naik gunung belum mainstream seperti sekarang,,hanya beberapa mahasiswi yang mau ikut di organisasi ini,,sekarang mah jadi kekinian bingggooo)...lanjut...

Sampai akhirnya saya membulatkan tekad untuk lanjut S2 dengan beasiswa calon dosen dari pemerintah. Fikir ku saat itu,,daripada saya nganggur, mending ikut program beasiswa ini, gelarnya dapat, duit beasiswanya dapat, klo selesai bisa jadi dosen pulak, nominal beasiswanya pun lumayan besar, yang kalo saya jadi tenaga honorer d sekolah atau di Dinas tertentu belum tentu dapat segitu untuk sebulan. Saya bisa meringankan beban mama karena tidak perlu membiaya saya lagi, bahkan saya bisa bantu-bantu sedikit uang untuk mama dan eki (alhamdulillah terlaksana ji waktu masih ada beasiswa). Pilihan universitasnya nun-jauh dari kampung halaman, inginnya supaya menambah pengalaman, dan dengan naifnya mengabaikan nasihat beberapa orang bahwa untuk lulus di kampus ini agak susah. Jiwa muda masih membara hebat,,sehingga dengan yakin bisa lulus dalam 2 tahun.

Yaa,,,dan disinilah saya berujung,,hingga 2 tahun 9 bulan kuliah disini belum juga lulus (catet yah bukan karena tidak lulus mata kuliah, tapi lebih ke permasalahan bimbingan yang yahhhh,,sudahlah).  Saya tidak bilang kalau saya menyesal dengan pilihan saya, tapi sebagai manusia biasa ini lah yang mungkin dikatakan “galau tingkat dewa”. Di saat teman-teman lain seangakatan seperjuangan sudah selesai satu persatu, sedang saya belum juga sidang. Saya diberi tantangan lebih dibanding yang lain.
Benang merah dari cerita saya di awal adalah bahwa dulu saya bisa melewati masa akademik saya dengan lancar jaya, namun di jenjang S2 ini subhanallah berlikunya. Mungkin tantangan sejak SD dulu baru terakumulasi sekarang. Mulai dari tantangan waktu penelitian, yang proyeknya tiba-tiba di cancel (pernah saya ceritakan d blog juga). Jadi mau tidak mau harus pakai dana pribadi yang lumayan besar, bahkan sangat besar hingga menguras habis tabungan. Tantangan paling besar nya adalah menghadapi pembimbing yang tidak usah disebut namanya, sebut saja pembimbing 1 sebagai Bu Melati dan pembimbing 2 sebagai Bu Mawar (nahhh si Bu Mawar ini yang tantangan besarnya). Bu Melati dan Bu Mawar sering sekali beda pendapat yang akhirnya mengorbankan saya yang posisinya di tengah-tengah, meski alhamdulilllah seringkali berujung dengan Bu Melati yang mengalah. Kemudian galak dan moody nya Bu Mawar ini yang sering bikin senewen,,beberapa kali mengucapkan kata yang bikin air mata nyaris jatuh, kadang hari ini bilang begini, besok lain lagi. Tapi yang paling bikin dongkol itu kalo draft disimpan sampai sebulan lebih tanpa diperiksa, mau ditanyain beliaunya lebih marah, dibiarin saya nya yang rugi, rugi besar malah karena harus memperpanjang masa studi dan bayar spp sendiri. Beasiswa hanya sampai 2 tahun, jadi selebihnya itu pakai dana pribadi (lebih tepatnya dana sponsor dari keluarga yang tidak tentu jumlah dan kapan cairnya).

Secara pribadi saya memang dibuat galau dengan kondisi ini,,bahkan kadang dibuat jengkel setengah mati. Bukan hanya karena masa studi saya jadi lebih lama, tapi banyak hal-hal lain yang juga saya pertimbangkan. Pertama tentunya masalah dana, sejak tidak ada beasiswa terpaksa harus minta sama mama, yang niat awalnya lanjut S2 supaya tidak menyusahkan beliau malah semakin menyusahkan. Saya jadi pinjam uang beberapa kali sama kak Rajib karena malu dan tidak enak kalau terus-terusan menyusahkan mama –di usia yang mestinya saya produktif menghasilkan uang- , saya jadi harus menahan ego minta uang ke om dan tante. Dari dulu mereka memang selalu membantu financial akademik saya, terlebih setelah bapak meninggal, tapi tidak pernah saya yang minta langsung,,maklum ego saya terlalu tinggi untuk itu. Tapi sekarang apalah arti ego itu, om dan tante tidak mau kasih uang kalau bukan saya yang bilang langsung. Sementara mama juga pas-pasan keuangannya, saya tidak mau terlalu menyusahkan beliau.

Sedikit berfokus ke mama,,karena sebenarnya inilah yang paling memberatkan saya berada dalam kondisi ini. Seperti tadi yang saya bilang, niat awal lanjut untuk meringankan beban mama, dan utamanya saya ingin mendapat kerja yang lebih baik, saya ingin memperbaiki kondisi ekonomi keluarga saya. Kasihan mama saya yang sejak bapak meninggal, seorang diri mencari nafkah untuk saya dan eki. Sedikit banyak dia mirip dengan saya, beliau lebih memilih bersusah-susah kerja daripada harus pulang dan menggantungkan hidupnya pada saudara-saudaranya. Jadilah ia sosok paling tangguh dalam hidup saya yang berjuang dengan berbagai cara untuk membesarkan dan menyekolahkan saya dan eki (keluarga tetap ji membantu, tapi mama tetap survivor sejati). Itulah yang jadi motivasi besar saya ingin sukses,,demi beliau, supaya beliau tidak usah kerja banting tulang lagi dan bisa istirahat menikmati buah usahanya selama ini untuk saya dan eki. Tapi yang terjadi malah hingga saat ini saya masih terus-terusan menyusahkan beliau. Beliau tidak pernah mengeluh meski saya masih sering dikirimi uang dari beliau, beliau justru lebih khawatir pada keadaan hidup saya di sini. Tiap saya cerita bahwa pembimbing saya begini atau begitu, justru beliau yang lebih khawatir, beliau yang lebih pusing.  Atau kalau saya cerita bulan ini belum bisa sidang, mungkin bulan depan, sempat terdengar nada kecewanya, tapi kemudian memberi semangat kembali, seakan tidak ingin saya lebih terpuruk lagi oleh tekanan di kampus dan tekanan cepat selesai. Justru inilah yang semakin membuat hati saya sakit, bukan hanya karena belum lulus saja tapi karena melihat mama saya yang begitu pengertian di tengah harapannya yang besar pada saya. Beliau sangat mengerti bahwa tekanan saya sendiri dari pembimbing sudah cukup besar dan dia tidak mau menambah tekanan itu dengan memaksa saya segera selesai. Tapi saya tau bahwa dia menyimpan harapan besar pada saya untuk segera selesai, bekerja, hingga bebannya sedikit berkurang. Yah dia memang sudah cukup tua di usianya kini, begadang bikin kue, di terpa panas dan dingin waktu menjual tidak bisa lagi dia hadapi setangguh dulu, dan wajar rasanya setelah semua perjuangannya itu beliau menyimpan harapan besar pada anak sulungnya ini. Yahhh itu lah yang membuat saya semakin galau. Terkadang saya ingin cerita ke beliau masalah saya di sini dengan bahasa sesederhana mungkin agar beliau tidak ikut galau. Terkadang juga saya ingin memberi  janji untuk segera selesai agar ia tidak khwatir tapi takut malah nanti bikin kecewa kalau nyatanya masih butuh waktu lagi untuk selesai.

Terkadang yang membuat saya sedikit terhibur dengan keadaan ini, setidaknya berkat saya kuliah di jawa, sewaktu masih ada beasiswa saya sempat beli hp untuk eki, kasih uang jajan, dan sempat dua kali bawa mama jalan-jalan ke bogor dan jakarta. Pengalaman beliau ke jakarta dan bogor ini pulalah yang sering beliau banggakan di keluarga dan teman-temannya. Beliau sering bilang “kalau tidak kuliah ko d bogor kapan ka lagi bisa injak bogor sama jakarta,,nanti  S3 nya harus di luar negeri supaya pergi tong ka jalan-jalan ke luar negeri”. Mungkin ini kalimat penghibur dari beliau supaya saya tidak terus-terusan menyesali keadaan.

Yahh mungkin inilah yang jadi inti cerita saya kali ini, sebagian besar disebabkan kegalaun saya. Galau karena belum selesai, galau karena selalu menyusahkan orang lain, galau karena terus-terus membebani mama, dan utamanya galau karena belum bisa memenuhi harapan mama.

Di akhir saya kembali menuliskan harapan yang selalu saya panjatkan dalam doa-doa saya, agar saya segar selesai, bekerja dan mebahagiakan mama saya. Saya ingin beliau hidup sehat dan menikmati hari-harinya sebagaimana ibu-ibu pada umumnya, tanpa harus berfikir lagi bagaimana mendapatkan uang untuk saya dan eki. Saya ingin kelak itu menjadi tanggungjawab saya sebagi sulung keluarga. Beliau cukup menikmati hari-harinya dengan penuh kebahagiaan, mendapatkan hal-hal yang mungkin selama ini beliau inginkan namun ditahan demi mendahulukan kepentingan saya dan eki, memberi rumah yang nyaman, waktu istirahat yang cukup, bermain dengan cucu-cucunya (hahahah,,nikah dulu inda baru bisa terwujud kalo harapan yang ini) dan tentu berbakti lebih banyak lagi untuk beliau. Semoga suatu hari nanti dicukupkan rezeki saya untuk membawa beliau beribadah haji,,,aamiin

Sekian dan terimakasih

Bogor, Selasa 24 Mei 2015

Pukul 14.19 WIB